Jumat, 23 September 2011

Rabu, 24 Juni 2009

MARAPU part 3


Kelompok-kelompok Keagamaan.

Di dalam masyarakat Umalulu dapat dikatakan tidak ada satu segi kehidupan yang tidak diliputi oleh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan untuk melayani kepentingan Marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh Marapu. Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu upacara karena orang tuanya sedang berhalangan.
Ketika hendak menjalani hidup berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih), maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan sajian untuk dipersembahkan kepada marapu.
Sebagai pemegang pimpinan utama dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga) mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang, memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili oleh anak laki-lakinya yang tertua.
Seperti telah dikemukakan bahwa kelompok kekerabatan yang terbesar dalam masyarakat Umalulu ialah kabihu. Kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan uma-uma yang merasa diri berasal dan satu nenek moyang. Setiap kabihu rnempunyai benda-benda pusaka tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya. Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa.
Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri , dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena diantara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu perkampungan besar yang disebut paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan, karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu, misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa — lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan paratu.

Perubahan Dewasa Ini
Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan sampai dewasa ini agama asli mereka mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan mereka terutama di kalangan masyarakat desa. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Menurut Widijatmika (1980:11-12), dalam perkembangannya masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen sudah sejak tahun 1881 dilancarkan, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, namun itu pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih agama (Kapita,1976:80). Selain itu sekolah-sekolah dari pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Umalulu) berupa Volks school (Widijatmika,1980:33). Meskipun demikian ternyata usaha-uasaha tersebut belum mendapat hasil yang memuaskan.
Berdasarkan asumsi bahwa kehidupan di dunia selalu berubah. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak berubah. Demikian pula tidak ada kebudayaan yang statis secara absolut. Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah (Robertson,1988:XII). Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Umalulu pun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’.
Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu (Suriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak akurat dan mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/- 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam “KTP” saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih agama “KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“ beralih agama untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya pilihan. Mereka pasrah dibawah tekanan para penguasa.
Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan yang ‘kompromistis’, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Suriadiredja sikap dan tindakan yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada kebudayaannya mempunyai prinsip-prinsip struktural berdasarkan pembagian dyadic-triadic (1983:405-409). Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam. Melalui inversi akan tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis.
Bagi masyarakat Umalulu, sejalan dengan pendapat O’dea (1985:216), agama merupakan salah satu bentuk “perlindungan budaya” melalui mana -- secara sadar atau tidak-- ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat diredakan. Di satu pihak mereka ingin tetap dengan agama dan ketradisionalan mereka sendiri, tapi dari sudut pandang lain mereka seperti mengikuti pendapat bahwa agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan yang sudah usang (Nottingham:1985:4). Masalahnya kemudian adalah apakah mereka akan ‘bersembunyi’ terus di balik kepentingan ‘target statistik’ ? Apakah yang berbau milik “pribumi” atau “asli lokal” harus selalu tersingkir dan musnah ? Mengapa harus merasa malu atau menjadi rendah diri memiliki tradisi yang luhur dari para leluhur sendiri ? Bukankah adanya kita semua sekarang ini berkat adanya para orang tua dan leluhur kita itu ?!

"Salam sejahtera bagi para Marapu".

Daftar Pustaka

Banton, Michael (ed)
Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tavistok Publications, London, 1968.
Dove, Michael R. (ed)
Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Kapita, Umbu Hina
Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.
Koentjaraningrat
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.
---------- Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, 1977.
Nottingham, Elizabeth K.
Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
O’dea, Thomas F.
Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
Robertson, Roland (ed)
Agama:Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, CV Rajawali,Jakarta,1988
Suriadiredja, P.
Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.
Widijatmika, Munandjar
Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana,Kupang,1980

Kamis, 18 Juni 2009

Marapu part 2


Sistem Upacara-upacara Keagamaan



Menurut Koentjaraningrat (1977:241), dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan-perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Umalulu untuk melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Umalulu dengan para marapu didasari oleh rasa cinta ,hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci. Perasaan-perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan.


Upacara-upacara keagamaan di Umalulu selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada bagian muka sudah dikemukakan bahwa seluruh kehidupan orang Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.



Tempat-tempat Upacara



Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain :


Uma karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan; Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan; Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru; Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit; Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh; Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan .


Selain itu, tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada ialah tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa, kawadaku dan uhu mangejingu diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Katuada ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu :


1. Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah.


2. Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu.


3. Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya.


4. Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik.


5. Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.


6. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah.


7. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu.


8. Katuada bungguru (tugu persekutuan) , tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik.


9. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan.


10. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah).


11. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut.


12. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran.


Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali) karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan rnenghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.




Saat-saat Upacara


Menurut pandangan orang Umalulu, manusia itu merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dan manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.


Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut tanda wulangu. Kalender adat ini tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku — hara dari para leluhur. Bila diubah akan menimbulkan kegoncangan yang menimbulkan bahaya dan kemarahan para leluhur. Secara kalender adat setiap tahun dibagi dalam dua belas bulan yang pada setiap bulannya selalu ada acara-acara adat. Kalender adat ini, seperti yang masih dilakukan orang Umalulu, adalah sebagai berikut :




1. Wulangu Mangata (Maret-April).


Bulan pertama ini merupakan bulan padira ura tana – padira wula mbaki, yaitu bulan batas tahun kepicikan dan kelaparan. Pada bulan inilah diiaksanakan pesta dan upacara Pamangu langu paraingu (pesta dan upacara tahun baru), sebagai suatu saat untuk menghabiskan hasil tahun yang lama dan menanti hasil pada tahun yang baru. Segala yang lama harus diganti dengan yang baru. Rumah-rumah, halaman, kubur-kubur dan kampung harus dibersihkan, demikian pula dengan alat-alat rumah tangga dan pakaian harus dibersihkan atau diganti dengan yang baru.


Pada perayaan ini, setiap keluarga saling mengunjungi dan saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah dibuat. Di setiap kampung dilakukan upacara Na ruku aku marapu — lii marapu, yaitu upacara pengakuan dosa dan kebaktian kepada para marapu yang dilaksanakan di katuada paraingu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Selain itu pada setiap malam diadakan tari-tarian dengan diiringi nyanyian Ludu langu paraingu yang dibawakan oleh pemuda-pemudi. Di kebun dilaksanakan pula upacara Huamba ihi wuaka (mensucikan isi kebun) yang dimaksudkan agar para marapu dan para arwah penjaga kebun memberi kesuburan serta kelimpahan hasil kebun itu. Upacara ini dilakukan di katuada wuaka.



2. Wulangu Paludu (April-Mei).


Pada bulan ini dilakukan upacara Habarangu papu wataru yaitu upacara memohon ijin untuk memetik jagung. Setiap keluarga batih yang hendak panen jagung membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu serta melaksanakan upacara pemujaan di katuada wuaka. Bagi pemuda dan pemudi yang handak menikah, mereka melakukan upacara Paihingu marapu ba papa yang dimaksudkan agar para marapu memberi ijin mereka untuk melangsungkan pernikahan. Upacara ini dilaksanakan di rumah si pemuda atau si pemudi yang hendak menikah.


Pada malam hari, ketika membersihkan dan mengikat jagung, penduduk desa baik pria maupun wanita, tua dan muda mengadakan dekangu, pangiarangu yang disertai nyanyian-nyanyian pantun seperti panawa, padira analalu dan ludu hema.



3. Wulangu Ngura (Mei-Juni).


Hal-hal yang dilakukan pada bulan ketiga ini antara lain melaksanakan upacara Paihingu marapu ba muti, yaitu upacara meminta ijin kepada para marapu untuk menuai padi. Upacara in dilaksanakan di uma bokulu dan di katuada paraingu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Pada malam harinya dilakukan upacara yang sama di ladang atau di sawah. Kemudian dilanjutkan dengan resitasi lii marapu yang disertai oleh nyanyian-nyanyian. Keesokan harinya dilakukan upacara dan pesta potong padi yang disebut Haberangu muti atau Muti uhu. Pada waktu menuai diundang pula orang-orang dari kampung lain sehingga merupakan suatu keramaian. Malam harinya dilanjutkan dengan parina (injak padi) yang dilakukan sambil menari dan menyanyi sampai pagi hari.



4. Wulangu Tua Kudu (Juni – Juli).


Pada bulan ini di ladang dilakukan pesta dan upacara Kanduku wuaka, yaitu upacara tutup panen yang dilaksanakan untuk menyatakan rasa terima kasih kepada para marapu dan Mapadikangu Awangu Tana yang telah memberi hasil panen yang baik. Pesta tutup panen ini berlangsung beberapa malam yang diisi dengan nyanyi dan tari. Pada waktu penutupan dilakukan upacara paluhu kalamba dan upacara paluhu tada, yaitu upacara mengeluarkan sekam padi dan kulit jagung ke luar kampung dengan maksud agar para marapu menghilangkan segala hal yang buruk dari hasil-hasil yang diperoleh dan memohon agar pada waktu mendatang diberi hasil yang lebih baik.



5. Wula Tua Bokulu (Juli – Agustus).


Upacara-upacara yang dilakukan pada bulan kelima ini antara lain upacara Pamangu kawunga, Habarangu la katuada bungguru dan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara Pamangu Kawunga ialah upacara permujaan untuk mernpersembahkan hulu hasil kepada para marapu terutama kepada Marapu Ratu yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali di rumah pemujaan Uma Ndapataungu. Upacara ini bertepatan pula dengan diperbaikmnya rumah pemujaan tersebut dan merupakan suatu pesta adat kaum keluarga yang mempunyai hubungan dengan marapu yang bersangkutan. Dalam upacara ini setiap kabihu diwajibkan mempersembahkan hulu hasil yang berupa hunggu maraku (persembahan yang berupa hasil pertanian, terutama padi, dan hasil peternakan), pahapa dan kawadaku Biasanya dalam masa-masa persiapan sudah diadakan tari-tarian, resitasi lii marapu yang disertai nyanyian-nyanyian hingga upacara selesai.


Upacara Habarangu la katuada bungguru ialah upacara yang dilaksanakan ketika akan membuka hutan untuk dijadikan ladang baru. Upacara ini dilaksanakan di katuada bungguru dengan maksud agar semua dewa-dewa dan arwah-arwah yang berada di seluruh peladangan dan hutan memberkati pekerjaan mereka. Adapun upacara-upacara siklus hidup yang dilakukan pada bulan keIima ini ialah upacara yang tidak berhubungan dengan kelahiran dan kematian, melainkan upacara yang berhubungan dengan inisiasi dan perkawinan. Upacara-upacara itu ialah upacara puru la wai (turun ke air, sunat) untuk pemuda, upacara nggutingu (gunting rambut) untuk pemudi, kemudian dilakukan pula upacara rondangu (potong gigi), kamiti (menghitamkan gigi ) dan katatu (rajah tubuh) yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi. Selain itu pada bulan ini dilakukan pula upacara pamau papa (perkawinan).



6. Wulangu Kawuluru Kudu (Agustus – September).


Pada bulan ini dilakukan upacara Pamangu lii ndiawa – lii pahuamba atau disebut juga upacara Wunda lii hunggu — lii maraku, yaitu upacara persembahan dan pesta perjamuan para dewa. Pesta dan upacara ini memerlukan persiapan tujuh tahun lamanya dan baru pada tahun kedelapan dapat dilaksanakan. Pesta dan upacara ini sebenarnya bukan bersifat umum, melainkan khusus untuk satu atau dua kabihu yang bersangkutan. Akan tetapi setiap kabihu yang berada di bawah pengaruh kabihu yang mengadakan pesta diwajibkan membawa persembahan pula berupa pahapa, kalaja wingiru — kalaja bara (nasi kebuli kuning dan putih), wolu la pahiki — wolu la papanda (tuak dalam guci dan botol kuningan), kanata huluku — kanata kuluru (sirih pinang yang digulung), kawadaku marara — mabara (keratan mas dan perak) dan manu palunggu — karambua papawiringu ( ayam yang terbaik dan kerbau yang disucikan). Upacara ini dilaksanakan di uma bokulu dan di rumah pemujaan Uma Ndapataungu sebagai tanda bakti kepada Marapu Ratu dan para marapu lainnya dengan harapan agar diberi kesuburan dan kemakmuran. Pada malam hari diadakan tari-tarian, nyanyian-nyanyian dan resitasi lii marapu. Apabila sedang tidak melakukan upacara-upacara tersebut, orang Umalulu melakukan upacara lainnya, misalnya upacara wulu uma (upacara membuat rumah), atau upacara pamau papa.



7. Wulangu Kawuluru Bokulu (September – Oktober).


Pada bulan ini upacara-upacara yang biasa dilakukan ialah upacara wulu uma dan upacara pamau papa . Bagi keluarga-keluarga yang hendak menanam jagung, maka harus melakukan upacara Paihingu marapu ba tondungu wataru di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Kemudian dilakukan lagi upacara Habarangu tondungu wataru di katuada wuaka.



8. Wulangu Ringgi Manu (Oktober - Nopember).


Pada bulan ini dilakukan upacara Hiri paraingu — paluhu maranga, yaitu upacara membersihkan kampung dari bahaya penyakit dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Upacara-upacara lainnya yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pamau papa dan upacara pataningu (penguburan).



9. Wulangu Tub Kawuru (Nopember—Desember).


Bulan kesembilan ini disebut pula bulan kahana (sepi), karena hampir tidak ada upacara-upacara yang dilakukan penduduk. Upacara yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pataningu.



10. Wulangu Habu (Desember – Januari).


Pada bulan ini dibakukan upacara Paihingi marapu ba tondungu, yaitu upacara untuk meminta ijin kepada para marapu agar diperbolehkan mulai menanam. Upacara ini dilakukan oleh setiap kepala keluarga di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Setelah itu diadakan pula upacara di ladang atau di sawah, yaitu upacara Habararangu tondungu yang dilaksanakan di katuada wuaka dan di katuada padira tana dengan maksud agar para marapu dan para arwah yang berada di ladang memberi kesuburan dan tidak mengganggu tanaman yang akan ditanam. Bagi keluarga-keluarga yang hendak memetik jagung siram diharuskan melakukan upacara Habarangu papu wataru.



11. Wulangu Wai Kamawa (Januari – Pebruari).


Seperti halnya bulan kesembilan, bulan kesebelas ini disebut pula bulan kahana (sepi). Pada bulan ini angin bertiup sangat keras disertai hujan deras sehingga adakalanya membawa bencana, karena itu bulan ini disebut wai kamawa.



12. Wulangu Mbuli Ana (Pebruari – Maret).


Pada bulan ini dilakukan upacara Hemi rau uhu - rau wataru, yaitu upacara yang dilakukan ketika jagung mulai berbuah dan padi mulai berbunga. Upacara di lakukan di ladang dan dimulai pada malam hari dengan menceritakan lii marapu semalam suntuk. Pagi harinya dilakukan upacara mengusap daun jagung dan daun padi dengan air santan yang telah diberkati oleh ratu. Bagi orang-orang yang hendak pergi berburu diwajibkan melakukan upacara Patamangu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu di katuada bungguru.




Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Umalulu ada saat yang dianggap genting atau krisis. Saat-saat itu ialah sekitar kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami-istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir.


Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu , untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu.


Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara Hangguru, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai. Upacara-upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara Hangguru, harus disediakan seekor babi yang seIuruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu).


Setelah berumur antara dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari masa anarara menjadi anakiada (kanak-kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu (memahitkan air susu, penyapihan). Upacara ini dilakukan dengan permohonan kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan mengikuti orang tuanya bekerja di ladang.


Anakiada yang berusia antara dua sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), karena rambut mereka dicukur gundul hanya bagian atasnya saja, bagian belakang dibiarkan panjang, sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Sedangkan untuk anak laki-laki biasanya hanya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan.


Pada waktu anakiada beralih menjadi bidi tau , yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat tahun,dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh secara meminta atau mencuri di kampong-kampung sekitarnya. Pada hari keempat, ratu atau paratu yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara itu masing-masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung. Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau, Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan tambahan kekuatan gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi ) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu.


Bagi para bidi kawini (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban.


Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting dalam kehidupan seseorang ialah saat perkawinan. Untuk menghadapi saat krisis itu, orang Umalulu melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para marapu.


Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku — halubu la mandu mara (menjelma bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyaiah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain.


Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit.


Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam.


Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian ini adalah :


1. Yubuhu — karandi (kapan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki-laki, sedangkan untuk wanita ialah sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai-balai) untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara- anamini (ipar dan saudara laki-laki).


2. Dangangu - ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut di balai-balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu — ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya - anakawini (ipar dan saudara wanita).


Jadi pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang-kadang menuntut waktu lama.


Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum pemakaman yang sesungguhnya. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang-orang yang khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa pahapa dan kurban ayam atau babi. Ada kalanya pula dipotong kerbau atau kuda, yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan ada kalanya hingga bertahun-tahun, terganturig pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman dilaksanakan.


Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai-taulan di dalam atau di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) didandani dengan pakaian dan perhiasan yang indah.


Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam. Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah si mati melemparkan benda-benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu kubur). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata, kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki , dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi.


Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi.


Selanjutnya dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan kampung lain. Peristiwa itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan masing-masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah mereka semua.


Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati ke Parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka arwah si mati hanya tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan pada pesta Pamangu langu paraingu yang diadakan setiap Wulangu Mangata.




Benda-benda Upacara


Untuk memperingati marapu, orang Umalulu mengeramatkan benda-benda yang biasanya digunakan dalam upacara-upacara. Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda upacara dijadikan obyek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan obyek pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan.


Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu ; Pertama, tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu Manurut kepercayaan, roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri. Tanggu marapu la hindi yang paling dipuja di Umalulu ialah tanggu marapu dari Uma Ndapataungu yang berupa perhiasan emas dan dua buah guci yang disebut na mbalu rara — na kihi muru. Suatu hal yang istimewa dari tanggu marapu dari Uma Ndapataungu ini ialah tidak disimpan di dalam menara rumah seperti tanggu marapu iainnya, melainkan mempunyai tempat khusus, yaitu di dalam rumah pemujaan yang disebut Uma Ndapataungu juga.


Tanggu marapu dalam golongan kedua ialah tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya. Bila ada peristiwa-peristiwa penting, seperti upacara kematian, pesta langu paraingu dan pamangu ndiawa benda-benda tersebut dipamerkan.


Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda.


(to be continued)

Jumat, 12 Juni 2009

Sumbanese Traditional Textile II

The Hinggi ( men's clothing)







































Pictures by Purwadi Soeriadiredja